Kamis, 21 Oktober 2010

"Opik"

Young Taufik. Namun siapa sangka, masa kecil Taufik berbeda seratus delapan puluh derajat. Menurut guru-guru, para tetangga dan orang-orang dekatnya, Taufik kecil justru dikenal sebagai anak yang lugu, pendiam, dan pemalu.
SELAMA ini Taufik Hidayat, dikenal sebagai sosok yang mudah terpancing emosinya. Tak saja di lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Sebagian publik sudah melihat bagaimana ketika Taufik secara emosional tak mau melanjutkan pertandingan final nomor beregu putra di Asian Games 2002. Atau bagaimana seorang Taufik, dengan ''gampang'' memukul sopirnya Ahmad Kalla, ketika mobilnya bersinggungan.

Namun siapa sangka, masa kecil Taufik berbeda seratus delapan puluh derajat. Menurut guru-guru, para tetangga dan orang-orang dekatnya, Taufik kecil justru dikenal sebagai anak yang lugu, pendiam, dan pemalu.

***

MATANYA berkaca-kaca, ketika sang guru menegurnya karena ia tidak mengerjakan ''PR'' (pekerjaan rumah). Melihat itu, sang guru pun merasa kasihan dan tak tega memberinya hukuman. Wajah anak itu begitu lugu dan menggemaskan, terlebih dalam kesehariannya anak itu tidak pernah neko-neko. Akhirnya si murid hanya disuruh mengerjakan ''PR''-nya di dalam kelas.

Itulah momen yang selalu diingat tiga guru Sekolah Dasar Negeri Pangalengan I tentang Taufik Hidayat. Pebulu tangkis yang meraih medali emas di Olimpiade Athena 2004 ini memang tercatat sebagai murid SDN Pangalengan I dengan nomor induk 5563 yang lulus tahun 1986.

Di sekolah yang terletak di pinggir Jln. Raya Bandung-Pangalengan inilah Taufik menghabiskan masa kecilnya. Dilihat dari fisik bangunannya, sekolah dasar yang terdiri dari tiga sekolah itu (SDN Pangalengan I, II dan III) tidaklah istimewa. Bangunannya sederhana seperti umumnya sekolah-sekolah dasar yang ada di daerah. Bahkan di beberapa bagian sudah memerlukan sentuhan perbaikan, minimal pengecatan. Tetapi dari sekolah yang tak memiliki lapang bulu tangkis itulah ''lahir'' juara dunia bulu tangkis, Taufik Hidayat.

Teni Riani (guru kelas I), Ranny Nuraeni, S.Pd. (guru kelas III), dan Dra. Dewi Herliani (guru kelas IV) mengisahkan ketika berada di bawah bimbingan mereka, Opik,--panggilan akrab Taufik Hidayat,--memang termasuk anak pendiam dan pemalu, jauh dari kesan menonjol. Pergaulannya terbatas hanya dengan teman-teman tertentu. Bukan karena sombong, melainkan karena pemalu. Satu-satunya sahabat kentalnya di SD adalah Anton yang kini menjadi polisi.

Kulit putih, dengan wajah yang imut-imut membuat banyak orang menyukai Opik, temasuk para guru dan teman-temannya. Kerapihannya dalam berpakaian seragam sering dijadikan contoh. Tetapi namanya juga anak-anak, pertengkaran selalu terjadi karena berbagai sebab. Namun Opik cenderung mengalah jika harus bentrok dengan rekannya. Air matanyalah yang kemudian mengakhiri pertikaian.

''Opik memang bisa dikatakan cengeng, karena tak melawan jika ada teman yang mengganggunya. Makanya saya terkadang heran jika membaca kasus-kasus yang dialami Opik akhir-akhir ini. Kok sifat-sifat Opik sekarang berbeda dengan dulu?'' ujar Ranny.

Dalam mata pelajaran pun Opik terbilang biasa-biasa saja, bahkan ketika duduk di kelas empat, rapor cawu I-nya sempat dihiasi tinta merah untuk mata pelajaran IPS, matematika, dan IPA. ''Sebenarnya kecerdasan Opik terbilang lumayan, artinya tidak kurang, hanya saja mungkin karena kecapekan, pelajaran Opik di cawu I kelas empat menurun drastis,'' jelas Dewi.

Sejak kelas III SD, lanjutnya, Opik memang masuk klub Sangkuriang Graha Sarana (SGS) di Jln. Soekarno Hatta Bandung. Untuk itu setidaknya seminggu dua kali Opik harus bolak-balik Bandung-Pangalengan yang berjarak sekira 40 km dengan menumpang kendaraan umum. Bahkan latihan berlangsung sampai malam hari sekira pukul 20.00 WIB.

Tak heran, jika di awal-awal masuk klub SGS Opik acap kedapatan mengantuk di dalam kelas. ''Kunaon Pik nundutan wae (Kenapa, Pik mengantuk saja)?'' Teguran itu kerap dilontarkan Ibu Ranny manakala melihat Opik mengantuk di dalam kelas. Untunglah hal itu tidak berlangsung lama, Opik segera dapat menyesuaikan diri dengan kegiatannya dan bisa mengejar ketinggalannya.

Sejak sering mengikuti berbagai turnamen, nama Opik semakin dikenal di lingkungan teman-teman sekolahnya maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Kendati demikian, tidak ada perlakuan istimewa untuknya. Kelebihannya, mungkin hanya dalam kemudahan mendapatkan izin jika ada pertandingan di luar sekolah. Tetapi, itu tidak seberapa dibandingkan dengan prestasi yang diraih Opik.

''Sebagai gurunya, kami semua tentu merasa bangga, apalagi dengan prestasi Opik di Olimpiade Athena 2004. Kami hanya bisa mendoakan mudah-mudahan dia bisa terus menjaga prestasinya. Kendati demikian, kami berharap sesekali Opik mau mampir ke SDN Pangalengan I untuk memberi dorongan kepada adik-adik kelasnya agar bisa berpresatsi seperti dirinya,'' ujar ketiga guru wanita yang ketika diwawancara didampingi kepala sekolah, Elan.

***

KESEJUKAN alam pegunungan Pangalengan yang terkadang dihiasi embun di pagi hari, telah membawa keteduhan bagi sebagian penduduknya. Suasana inilah yang menghantarkan pribadi seorang anak manusia yang di kemudian hari mampu membahanakan nama Indonesia di mata dunia melalui prestasinya. Suasana teduh Kecamatan Pangalengan yang jauh dari hiruk pikuk kota, menjadikan Opik kecil tumbuh dengan pribadi tenang, tidak meledak-ledak, bahkan nyaris tertutup.

Taufik Hidayat, dilahirkan pada 10 Agustus 1981 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya menekuni bisnis sayuran yang cukup dikenal di Pangalengan. Dari usahanya, ia mampu menghidupi Taufik untuk mengikuti berbagai aktivitas di luar sekolah.

Lingkungan rumah yang hangat, membuat Opik kecil cenderung malas melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar. Terlebih ayahnya mendidik Opik kecil sangat disiplin. Terkadang saat Opik meminta uang jajan, terlebih dahulu harus bermain tali (skipping) atau memainkan dumbbell. Rupanya di balik ketatnya disiplin ini, sang ayah secara diam-diam ingin membentuk fisik Opik menjadi kuat. Opik pun memenuhi ''permintaan'' ayahnya tanpa beban.

Opik memang penurut dan termasuk anak rumahan yang manis. ''Jika tidak terlalu penting, kelihatannya ia malas keluar rumah. Mungkin karena kecapekan latihan bulu tangkis,'' ujar Nung, pembantu yang sudah lama ikut dengan keluarga H. Aries Haris dan Hj. Enok Dartilah, orang tua Taufik.

Seperti kebanyakan anak lainnya, Opik sesungguhnya lebih menyukai sepak bola. Namun ayahnya, menyarankan untuk meraih prestasi sebaiknya menekuni bulu tangkis. Kebetulan ayah dan ibunya menggemari olah raga ini. Maka, di usia tujuh tahun, Opik sering kali diajak orang tuanya bermain bulu tangkis di lingkungan rumahnya. Antara lain di GOR Pamor, Pangalengan. Sejak itulah Opik lambat tetapi pasti mulai menyukai bulu tangkis.

Setelah agak mampu mengayunkan raket, tidak jarang ia menggoda kakak dan adiknya bahkan pembantunya saat mereka menjadi lawan tandingnya. Ketiga orang itu terkadang dijadikan sasaran untuk di-smash, hingga acap Nung dibuat menangis.

Opik mulai dibina secara fisik oleh Ence Surahmat dan Ade di GOR Pamor yang belakangan ini berubah fungsi menjadi kandang ayam, karena pengurusnya bubar. Sejak itulah ia memberanikan diri mengikuti pertandingan di lingkungan setempat, bahkan ia mampu mengalahkan lawan yang sudah dewasa sekali pun.

Melihat kelebihan anaknya, Aries memasukan Opik ke SGS pimpinan Lutfi Hamid. Opik ditangani pemain eksentrik Iie Sumirat. Konsekuensinya, Opik terpaksa bolak balik Pangalengan-Bandung.

''Jika pulang sekolah, Opik hanya sebentar berisitirahat, karena harus siap-siap ke Bandung, terkadang Opik hanya sempat makan dengan telur goreng kering kesukaannya, kali lain ia cukup menyantap mi instan kegemarannya,'' cerita Nung.

Masa-masa ini tentu tinggal cerita manis bagi Nung. Karena sejak masuk SMP Taufik kemudian hijrah ke Bandung. Awalnya ia tercatat sebagai murid di SMP Pasundan I Jln. Balong Gede Bandung. Karena tuntutan latihan yang padat, sering kali Taufik harus bolos dari sekolah. Melihat kondisi ketatnya peraturan sekolah, akhirnya Taufik pindah ke SMP Taman Siswa hingga ia menamatkan pendidikan SMA.

Di sekolah ini Taufik mendapat kelonggaran untuk meraih prestasi bulu tangkisnya. Bahkan ketika ujian akhir SMA pun Taufik diperbolehkan mengikuti ujian susulan di ruang perpustakaan sendirian. Setelah lulus SMA, Taufik kian berkembang. Dan akhirnya ia hinggap di Pelatnas Cipayung.

Dengan keberhasilan Taufik saat ini, selain merasa bangga, warga Pangalengan mengharapkan Taufik bisa berbuat sama seperti yang dilakukan pendahulunya, Susi Susanti di Tasikmalaya. ''Kami berharap ada GOR Taufik Hidayat di Pangalengan ini,'' ujar Mantri Polisi Kecamatan Pangalengan, Rukman, mewakili warganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar